Kamis, 14 Maret 2013

Pesona Ranu Kumbolo


Ranu Kumbolo, danau pemandian para dewa di Gunung Semeru, Jawa Timur. Silih berganti pendaki mengambil tempat di danau tenang yang menyimpan cahaya matahari di balik bukit ini.

Pagi pertama pendaki di Ranu Kumbolo adalah pagi yang tak mungkin lenyap dari ingatan. Kabut bergulung di air danau, menyongsong mereka yang duduk bersama kawan mencari hangat sambil minum kopi dari cangkir yang sama.

Seringkali kehangatan Ranu Kumbolo membius pendaki untuk tidak melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Semeru. Sebab, keindahannya membuat siapapun betah berlama-lama di danau ini.




Pulau Weh, Permata Di Ujung Barat Nusantara

Pulau Weh di Provinsi Aceh menawarkan keindahan alam yang luar biasa.

Saya kembali ke Pulau Weh setelah hampir lima tahun berselang. Keindahan pulau ini tetap tidak pudar walau kini makin ramai wisatawan berdatangan. Dari Banda Aceh, saya menumpang kapal feri cepat dari pelabuhan Ulee Lheue. Karena datang pada musim liburan, tiket harus dibeli beberapa hari sebelumnya.
Sayangnya, ternyata punya tiket tidak menjamin saya dapat naik ke kapal karena tiket yang dijual jauh melebihi kapasitas kapal. Calon penumpang harus antre, dan bila kapal sudah penuh, bahkan yang sudah punya tiket pun harus menunggu kapal berikutnya.

Beruntung saya berhasil masuk ke ke dalam kapal dan mendapatkan sebuah kursi, sementara suami saya terpaksa duduk di lantai. Satu jam dalam kapal yang penuh sesak dengan ombak yang besar tampaknya cukup berat bagi beberapa penumpang. Kami tiba dengan selamat di Pelabuhan Balohan, Pulau Weh.

Memilih akomodasi di Pulau Weh tidak terlalu sulit, wisatawan biasanya memilih di Iboih, Sumur Tiga, atau Sabang. Jumlah penginapan di pulau ini meningkat drastis sejak terakhir saya ke sini. Kali ini saya memilih menginap di Sumur Tiga.

Lalu, apa saja yang menarik di Pulau Weh. Jawaban termudah tentu saja adalah pantainya. Pantai Sumur Tiga ibaratnya hanya beberapa langkah dari pintu kamar penginapan saya. Pantainya berpasir putih dan bersih, hanya ramai saat akhir pekan atau liburan. Kalau malam suasananya romantis, cocok untuk duduk-duduk sambil menikmati kopi.

Keesokan harinya, menggunakan sepeda motor sewaan, saya menuju ke Iboih. Pantai Iboih diapit oleh Selat Malaka dan Samudera Hindia. Biasanya di sinilah titik awal keberangkatan wisatawan yang ingin menyelam atau melakukan snorkeling. Tidak heran, di pinggir-pinggir pantai terdapat penyewaan jaket pelampung dan peralatan snorkeling. Beberapa operator selam juga berada di ruko-ruko di pinggir pantai ini.
Berbeda dengan Sumur Tiga yang sepi, Iboih sangat ramai. Bus-bus besar mengangkut rombongan wisatawan, demikian juga dengan mobil pribadi dan sepeda motor. Namun, keramaian ini tidak mengurangi keindahan Iboih.

Perairan di sekitar Pulau Weh adalah salah satu titik penyelaman favorit di Indonesia. Suami saya sempat menyelam di sini, dan menurutnya keindahan bawah laut di sekitar Pulau Weh tidak kalah dengan Bunaken dan Derawan.

Pulau Rubiah yang berada di sebelah barat laut Pulau Weh juga sering dikunjungi wisatawan. Nah, laut antara Pulau Rubiah dan Pulau Weh ini memiliki keragaman hayati yang luar biasa. Di sinilah biasanya wisatawan dibawa untuk melakukan snorkeling. Selain wisata pantai, tidak afdol rasanya bila berkunjung ke Pulau Weh tanpa menyempatkan diri ke Tugu Nol Kilometer. Letak tugu ini sekitar 8 kilometer arah barat Iboih. Sebenarnya tugunya sendiri tidak menarik, hanya merupakan sebuah bangunan yang kotor dan tidak terawat. Selain itu, banyak juga coretan di dinding Tugu Nol Kilometer ini.

Tugu ini terdiri dari dua lantai. Di lantai yang bertama terdapat prasasti peresmian tugu oleh wakil presiden RI pada saat itu, Try Sutrisno, pada tahun 1997. Di lantai kedua terdapat prasasti yang bertuliskan posisi geografis Tugu Nol Kilometer ini. Saya tidak berlama-lama berada di tugu karena saat itu kondisinya sangat ramai. Pengunjung berdesak-desakan untuk bergantian foto dengan prasasti. Kabarnya, pemandangan matahari tenggelam yang terlihat di laut barat Tugu Nol Kilometer sangat indah, namun sayang saya berkunjung saat tengah hari.

Ketika pulang dari Tugu Nol Kilometer menuju ke penginapan di Sumur Tiga, beberapa kali saya berhenti untuk mengambil gambar. Di Gapang, saya sempat terpukau melihat keindahan Pulau Rubiah. Saat itu langit biru bersih dipadu dengan pulau yang hijau dan laut yang berwarna biru jernih. Di sebuah warung kecil, saya menyesap kopi sambil menikmati indahnya alam di ujung barat nusantara ini.

Bocah 8 Tahun Menikahi Wanita 61 Tahun

.Bermacam-macam motivasi orang untuk menikah. Ada yang memang karena cinta, ada pula yang karena terpaksa. Tetapi bagaimana bila untuk menyenangkan leluhur?

Sanele Masilela, bocah berumur 8 tahun di Tshwane, Afrika Selatan, baru-baru ini mengaku disuruh menikah oleh arwah kakeknya. Mendengar hal itu, keluarga Sanele pun menyanggupi permintaan aneh itu. Mereka takut kualat. Mereka membayar 500 pound kepada mempelai wanita dan 1000 pound untuk pesta pernikahan, yang dipersiapkan hanya dalam dua bulan.

Siapakah mempelai wanita yang terpilih? Seperti dilaporkan DailyMail, wanita itu adalah Helen Shabangu. Dia wanita berumur 61 tahun, sudah memiliki suami, dan ibu dari lima orang anak.

Tentu saja masyarakat Tshwane terkejut melihat perbedaan umur antara mempelai pria dan wanita. Apalagi saat Sanele, dalam balutan jas berwarna perak, mencium Helen — yang lebih pantas jadi neneknya ketimbang istri.

Keluarga Sanele menenangkan masyarakat dengan mengatakan, pernikahan ini hanyalah ritual dan tidak mengikat secara hukum. “Sanele dinamakan seperti nama kakeknya, yang belum pernah merasakan ritual pernikahan hingga akhir hayatnya. Jadi dia meminta Sanele untuk menikah. Dia memilih Helen karena mencintainya,” kata Patience Masilela (46), ibu Sanele. “Dengan begini, kami telah menyenangkan leluhur.”

Sanele dan Helen tidak menandatangani surat nikah dan tidak hidup bersama layaknya suami-istri sungguhan. Selesai acara pernikahan, mereka berdua kembali ke kehidupan masing-masing. Helen kembali tinggal bersama suami sahnya, sementara Sanele kembali jadi murid SD.

Alfred (65), suami Helen, mengatakan, “Kami sih tidak ada masalah dengan pernikahan ini, tetapi masyarakat amat terkejut.”

Sanele mengatakan dia berharap bila waktunya tiba kelak, dia akan menikahi wanita yang seumuran.