Pulau Weh di Provinsi Aceh menawarkan keindahan alam yang luar biasa.
Saya
kembali ke Pulau Weh setelah hampir lima tahun berselang. Keindahan
pulau ini tetap tidak pudar walau kini makin ramai wisatawan
berdatangan. Dari Banda Aceh, saya menumpang kapal feri cepat dari
pelabuhan Ulee Lheue. Karena datang pada musim liburan, tiket harus
dibeli beberapa hari sebelumnya.
Sayangnya, ternyata punya tiket tidak menjamin saya dapat naik ke kapal
karena tiket yang dijual jauh melebihi kapasitas kapal. Calon penumpang
harus antre, dan bila kapal sudah penuh, bahkan yang sudah punya tiket
pun harus menunggu kapal berikutnya.
Beruntung saya berhasil
masuk ke ke dalam kapal dan mendapatkan sebuah kursi, sementara suami
saya terpaksa duduk di lantai. Satu jam dalam kapal yang penuh sesak
dengan ombak yang besar tampaknya cukup berat bagi beberapa penumpang.
Kami tiba dengan selamat di Pelabuhan Balohan, Pulau Weh.
Memilih
akomodasi di Pulau Weh tidak terlalu sulit, wisatawan biasanya memilih
di Iboih, Sumur Tiga, atau Sabang. Jumlah penginapan di pulau ini
meningkat drastis sejak terakhir saya ke sini. Kali ini saya memilih
menginap di Sumur Tiga.
Lalu, apa saja yang menarik di Pulau Weh.
Jawaban termudah tentu saja adalah pantainya. Pantai Sumur Tiga
ibaratnya hanya beberapa langkah dari pintu kamar penginapan saya.
Pantainya berpasir putih dan bersih, hanya ramai saat akhir pekan atau
liburan. Kalau malam suasananya romantis, cocok untuk duduk-duduk sambil
menikmati kopi.
Keesokan harinya, menggunakan sepeda motor
sewaan, saya menuju ke Iboih. Pantai Iboih diapit oleh Selat Malaka dan
Samudera Hindia. Biasanya di sinilah titik awal keberangkatan wisatawan
yang ingin menyelam atau melakukan snorkeling. Tidak heran, di
pinggir-pinggir pantai terdapat penyewaan jaket pelampung dan peralatan
snorkeling. Beberapa operator selam juga berada di ruko-ruko di pinggir
pantai ini.
Berbeda dengan Sumur Tiga yang sepi, Iboih sangat ramai. Bus-bus besar
mengangkut rombongan wisatawan, demikian juga dengan mobil pribadi dan
sepeda motor. Namun, keramaian ini tidak mengurangi keindahan Iboih.
Perairan
di sekitar Pulau Weh adalah salah satu titik penyelaman favorit di
Indonesia. Suami saya sempat menyelam di sini, dan menurutnya keindahan
bawah laut di sekitar Pulau Weh tidak kalah dengan Bunaken dan Derawan.
Pulau
Rubiah yang berada di sebelah barat laut Pulau Weh juga sering
dikunjungi wisatawan. Nah, laut antara Pulau Rubiah dan Pulau Weh ini
memiliki keragaman hayati yang luar biasa. Di sinilah biasanya wisatawan
dibawa untuk melakukan snorkeling. Selain wisata pantai, tidak afdol
rasanya bila berkunjung ke Pulau Weh tanpa menyempatkan diri ke Tugu Nol
Kilometer. Letak tugu ini sekitar 8 kilometer arah barat Iboih.
Sebenarnya tugunya sendiri tidak menarik, hanya merupakan sebuah
bangunan yang kotor dan tidak terawat. Selain itu, banyak juga coretan
di dinding Tugu Nol Kilometer ini.
Tugu ini terdiri dari dua
lantai. Di lantai yang bertama terdapat prasasti peresmian tugu oleh
wakil presiden RI pada saat itu, Try Sutrisno, pada tahun 1997. Di
lantai kedua terdapat prasasti yang bertuliskan posisi geografis Tugu
Nol Kilometer ini. Saya tidak berlama-lama berada di tugu karena saat
itu kondisinya sangat ramai. Pengunjung berdesak-desakan untuk
bergantian foto dengan prasasti. Kabarnya, pemandangan matahari
tenggelam yang terlihat di laut barat Tugu Nol Kilometer sangat indah,
namun sayang saya berkunjung saat tengah hari.
Ketika pulang
dari Tugu Nol Kilometer menuju ke penginapan di Sumur Tiga, beberapa
kali saya berhenti untuk mengambil gambar. Di Gapang, saya sempat
terpukau melihat keindahan Pulau Rubiah. Saat itu langit biru bersih
dipadu dengan pulau yang hijau dan laut yang berwarna biru jernih. Di
sebuah warung kecil, saya menyesap kopi sambil menikmati indahnya alam
di ujung barat nusantara ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar