Senin, 20 Mei 2013

Browse: Home / / Masalah Pernikahan Siri dan Perlindungan HukumBagi Perempuan

Masalah Pernikahan Siri dan Perlindungan HukumBagi Perempuan


Akhir-akhir inipemberitaan mengenai Bupati Garut menjadi headline dalam beberapa mediamassa, bukan karena prestasinya dalam membangun Kabupaten Garut tetapikarena skandalnya menikahi seorang gadis Fani Octora 18 tahun secara siri danakhirnya di ceraikan melalui sms setelah 4 hari dinikahi. Betapa terulukannya sanggadis setelah diberikan janji manis tentang indahnya pernikahan akhirnya di ceraikanbegitu saja. Tanpa ia bisa mendapatkan hak-haknya sebagai seorang istri.
Fenomena nikah siri di Indonesia bagaikan fenomena gunung es. Mungkin korbanketidakadilan pernikahan siri ini bukan hanya di alami oleh Fani seorang tetapibanyak perempuan di Indonesia yang merasakan ketidakadilan akibat penelantaran,pembiaran, perceraian dan diskriminasi dalam rumah tangga akibat dari pernikahansiri.
Dalam Islam pernikahan disebut (siri) rahasia pada zaman Nabi Saw dan Sahabatdilakukan dengan tidak memenuhi syarat dan rukun nikah menurut hukum Islam.Tetapi dalam perkembangan dalam masyarakat Indonesia pernikahan sirimempunyai 3 pengertian yakni
Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia(siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap sahpernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belakatanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.
kedua, pernikahan yang sah secara agama (memenuhi ketentuan syarat dan rukunnikah/kawin) namun tidak dicatatkan pada kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagiyang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi yang Non-Islam).
Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu;
Di Indonesia mengenai perkawinan diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (“UUP”). Pasal 2 ayat (1) UUP menyebutkan bahwa:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masingagamanya dan kepercayaannya itu.”
Dalam Pasal 2 ayat (2) UUP menyebutkan adanya kewajiban untuk tiap-tiapperkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Artinya pernikahan adalah sah apabila di lakukan menurut hukum agamanya danharus pula dicatat ke kantor urusan pencatatan pernikahan. KUA (bagi Umat Islam)dan Catatan Sipil (bagi Non-Islam) agar pernikahannya mendapatkan bukti otentikdan keabsahannya diakui oleh Negara. Sehingga terjadi mendapatkan payunghukum dan timbulnya kewajiban dan hak dalam pasangan suami dan istri.
Sebagian masyarakat masih belum memandang pentingnya pencatatan pernikahansecara ke lembaga pencatat pernikahan. Akibatnya hak dan kewajiban suami-istritidak terlindung secara hukum. Misalnya masalah kewajiban memberikan nafkahsuami kepada istri, pengakuan anak secara legal ketika mengurusi kependudukandan lain-lain. Perempuan dalam hal ini istri siri menjadi subjek hukum yang tidakmemiliki kepastian hukum, akibat dari pernikahan siri tersebut. Banyak kasusperceraian secara semena-mena yang dilakukan suami tanpa istri siri mendapatkanhak atas harta bersama, penelantaran dan pembiaran terhadap istri siri dan anaknyakarena suami pergi tanpa kabar yang jelas, bahkan kekerasan bisa dialami oleh istrisiri tersebut. Ataupun di dalam urusan administrasi kependudukan, tidak diakuinyastatus pernikahan oleh Negara, status anak dalam pernikahan siri tidak akanmendapatkan akte kelahiran yang jelas. Akibatnya pihak perempuan yang akan sulituntuk mendapatkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.
Banyak factor yang melandasi maraknya pernikahan siri di Indonesia mulai dariketidaktahuan masyarakat tentang pentignya pencatatan pernikahan, kondisiekonomi yang tidak mampu mencatatkan pernikahan ke KUA, adanya pasanganyang tidak ingin mencatatkan pernikahannya karena takut ketahuan menikah lagi,pejabat PNS yang berpoligami tidak ingin ketahuan berpoligami karena larangan bagiPNS untuk berpoligami.
Intinya adalah kesadaran hukum bagi setiap warga Negara untuk mentaati danmematuhi peraturan perundang-undangan. Khususnya bagi perempuan agar lebihcerdas tidak lemah menghadapi bujuk rayuan manisnya pernikahan tanpa legalitasagama dan Negara. Juga penyadaran kepada perempuan akan hak-hak yang harusdimilikinya terkait peristiwa hukum dalam pernikahan. Juga regulasi dari pemerintahyang membuat aturan yang mengikat dan tegas terkait maraknya pernikahan yangtidak memiliki bukti otentik dan payung hukum yang sesuai dengan undang-undangpernikahan nomor 1 tahun 1987 tentang pernikahan. Agar kasus-kasus perceraian,penelantaran, pembiaran, dalam pernikahan siri yang dialami Fani Oktora danPerempuan-perempuan lainnya tidak marak terjadi lagi.

0 komentar:

Posting Komentar